tribratanews.lampung.polri.go.id. Jakarta. Sebagai acuan mengukur tinggi-rendahnya suara yang di dengar, satuan yang digunakan adalah desibel (dB). Semakin tinggi nilai dB, maka suara akan semakin keras. Pada kondisi normal, 100 dB atau lebih sudah menyebabkan rasa sakit di telinga.
Namun, bagi penderita hiperakusis, kebisingan serendah 16-18 dB saja sudah menimbulkan rasa sakit di telinga. Sebagai perbandingan, suara di ruangan sunyi menghasilkan suara sebesar 30 dB, suara orang berbincang sebesar 60 dB, serta suara dari alat yang berisik, seperti blender, dapat mencapai 94 dB.
Hiperakusis merupakan kelainan persepsi kerasnya suara. Suara yang pada umumnya dianggap biasa bagi orang lain akan terdengar lebih keras bagi penderitanya.
Dilansir dari berbagai sumber, Selasa (20/8/24), berikut sederet penyebab hiperakusis yang wajib di waspadai, antara lain:
1. Terpapar suara keras
Hiperakusis dapat muncul ketika seseorang sering mendengar suara yang keras. Risiko ini lebih rentan dialami oleh orang-orang yang bekerja di lingkungan bising, seperti musisi, pekerja konstruksi, atau petugas bandara. Paparan suara keras secara terus-menerus dapat merusak sel dan sistem saraf yang bertanggung jawab dalam proses mendengar.
Tak hanya itu, mendengar suara yang sangat keras atau lebih dari 140 dB juga dapat menyebabkan hiperakusis. Contohnya, mendengar suara ledakan petasan atau klakson kereta dari jarak yang terlalu dekat.
2. Kelainan pada telinga
Perkembangan yang tidak normal pada bagian-bagian telinga, seperti saluran telinga, membran timpani, tulang sanggurdi (stapes), dan rumah siput, dapat menyebabkan hiperakusis.
Kondisi tersebut bisa menyebabkan saraf pendengaran mengirimkan informasi suara yang salah ke otak. Akibatnya, otak mengolah suara yang masuk sebagai suara yang keras dari sebenarnya.
3. Kelumpuhan saraf wajah
Pada beberapa kasus, kelumpuhan atau gangguan pada saraf wajah, seperti Bell's palsy, cacar api, atau penyakit Lyme, dapat menyebabkan hiperakusis. Gangguan ini dapat mempengaruhi saraf wajah yang mengontrol otot stapedius, yaitu otot yang berperan dalam mengatur intensitas suara dan melindungi telinga dari suara keras.
Adanya gangguan pada otot stapedius membuat indra pendengaran kehilangan kemampuan untuk mengatur kekerasan suara, yang dapat berkembang menjadi hiperakusis.
4. Cedera
Penyebab lain dari kondisi ini adalah cedera pada kepala, rahang, atau telinga yang disebabkan oleh benturan keras. Benturan tersebut dapat mengganggu bagian saraf sensorik yang berhubungan dengan pendengaran di otak, yang kemudian dapat memicu berkembangnya hiperakusis.
Sumber https://Tribratanews.polri.go.id