Menggapai Haji Mabrur

02/06/2024 14:40:00 WIB 210

https://tribratanews.lampung.polri.go.id. Jakarta - Secara harfiah, haji mabrur berarti haji yang baik atau haji yang diterima oleh Allah SWT. Sedang menurut istilah, haji mabrur ialah haji yang dilaksanakan sesuai dengan petunjuk Allah dan Rasul-Nya, dengan memperhatikan syarat-syarat, rukun-rukun dan wajib-wajibnya, menghindarkan hal-hal yang dilarang (muharramat) dengan penuh konsentrasi dan penghayatan semata-mata atas dorongan iman dan mengharap ridha Allah SWT.
Dalam bahasa lain, suatu ibadah haji disebut haji mabrur, jika dilakukan dengan memenuhi aspek Aqidah, Syari'ah dan Tasawuf. Salah satu tanda bahwa orang yang melaksanakan ibadah haji memperoleh predikat haji mabrur adalah sesudah melaksanakan ibadah haji iman dan takwanya lebih tinggi, sikap dan perilakunya lebih baik dari pada sebelum melaksanakan ibadah haji.


Untuk meraih haji yang mabrur, memang tidak mudah, karena mengingat pahala dari haji yang mabrur memang luar biasa, yaitu, sesuai dengan sabda Rasulullah, Haji yang mabrur balasannya adalah surga, untuk itu, agar mendapatkan haji yang mabrur, perlu memperhatikan beberapa hal baik sebelum berangkat, saat pelaksanaan haji dan setelah selesai melaksanakan rangkaian ibadah haji. Antara lain:

1. Hal-hal yang harus dilakukan sejak sebelum berangkat haji

Diantara hal-hal yang harus dilakukan sejak sebelum berangkat haji ialah :

a. Membimbing qalbu, jiwa atau rohaniyah agar niat melaksanakan ibadah haji semata-mata karena memenuhi perintah Allah SWT, mengharap ridla-Nya serta mendekatkan diri kepada-Nya. Hal ini didasarkan pada firman Allah SWT dalam surat al-Baqarah ayat 196
وَأَتِمُّوا الْحَجَّ وَالْعُمْرَةَ ِللهِ
"Dan sempurnakanlah ibadah haji dan 'umrah semat-mata karena Allah".

b. Di samping itu, para calon jamaah haji juga harus memelihara rohaniahnya agar tidak berpaling pada hal-hal yang dapat mengganggu keikhlasan niatnya. Seperti melaksanakan ibadah haji dengan niat untuk rekreasi (nuzhah), berdagang (mencari keuntungan materi, atau mendapatkan kekayaan) atau meningkatkan status sosial, prestise, pangkat atau jabatan, riya', atau untuk mengelabuhi masyarakat yang dikenal dengan istilah "haji politik".

c. Membayar Biaya Perjalanan Ibadah Haji (BPIH) dan seluruh biaya (nafkah) yang diperlukan selama menunaikan ibadah haji dari uang yang diperoleh dengan cara halal.

d. Membersihkan diri dari dosa, kesalahan dan kekhilafan, baik kepada Allah SWT maupun kepada sesama manusia dengan melakukan taubat secara sungguh-sungguh (taubatan nasuha) kepada Allah SWT dan meminta maaf kepada sesama umat manusia.

e. Menghindari segala hal yang dapat mengganggu konsentrasi ibadah haji serta tawakkal (penyerahan diri) dan mahabbah (kecintaan) kepada Allah SWT. Hal ini dapat dilakukan dengan memberikan biaya hidup yang cukup kepada keluarga yang ditinggal, melunasi semua hutang dan tagihan rekening listrik, telepon dan sebagainya. Membawa bekal (uang) yang cukup, menulis wasiat (testamen) kepada keluarga jika terjadi hal-hal yang diluar dugaan seperti kematian dan lainnya.

f. Membina rohaniah (psikologis) dengan menanamkan sifat-sifat yang positif dan menghindari sifat-sifat yang negatif.

g. Membekali diri dengan pengetahuan tentang Manasik Haji dan menjaga kesehatan jasmani dan rohani.

2. Hal-hal yang dikerjakan Saat Melaksanakan Haji

Hal-hal yang harus dilkerjakan ketika sedang melaksanakan amalan-amalan ibadah haji adalah:

a. Melaksanakan seluruh rangkaian amalan-amalan ibadah haji sesuai dengan petunjuk Allah SWT dan Rasul-Nya yang dijelaskan dalam buku "Manasik Haji" dengan penuh konsentrrasi dan penghayatan. Karena ibadah haji bukan hanya berupa bacaan-bacaan dan amalan-amalan fisik saja, melainkan juga berupa aktivitas rohani. Di samping itu amalan-amalan dalam ibadah haji merupakan simbol-simbol yang jika tidak dihayati dan dimengerti maknanya, maka amalan-amalan tersebut seakan-akan hanya "main-main". Oleh karena itu, setiap melakukan amalan-amalan ibadah haji harus dihayati dan dimengerti maknanya.

b. Membaca do'a-do'a yang sesuai dengan petunjuk Rasulullah SAW. Membaca do'a-do'a yang terdapat dalam buku "Manasik Haji" memang baik, jika hafal dan mengerti artinya. Akan tetapi jika tidak hafal atau tidak mengerti artinya maka sebaiknya berdo'a dengan bahasa yang difahami dan benar-benar keluar dari hati nurani.

c. Menghindari hal-hal yang diharamkan bagi orang yang ihram. Selama menunaikan ibadah haji terutama sewaktu memakai pakaian ihram, para jamaah haji harus meninggalkan hal-hal yang diharamkan bagi orang yang sedang ihram sebagaimana telah disebutkan di atas.

d. Menghindari hal-hal yang dapat menghalang-halangi kemabruran haji. Selama melaksanakan ibadah haji, hendaknya para jamaah menghindari hal-hal yang dapat mengurangi atau bahkan menghilangkan kemabruran ibadah haji, yang secara garis besar terdiri dari 3 hal, yaitu: Rafats (perbuatan dosa yang disebabkan oleh gejolak nafsu seks), Fusuq (perbuatan dosa yang disebabkan oleh sifat-sifat yang tercela seperti takabbur (sombong), hasad (iri hati), namimah dan sebagainya) dan Jidal; (perbuatan dosa yang disebabkan oleh tidak adanya kesabaran hingga tibul perdebatan/pertengkaran.

e. Membayar Dam sesuai dengan pelanggaran yang dilakukan. Jika melakukan pelanggaran-pelanggaran dalam ibadah haji, maka jamaah haji harus membayar dam (denda) sesuai dengan jenis pelanggaran yang kita lakukan.

f. Saling mengingatkan, membantu dan menolong sesama teman. Sesama jamaah harus saling mengingatkan, membantu dan menolong, baik berupa petunjuk, bantuan tenaga maupun bantuan uang. Di samping itu juga memperbanyak sedekah dan amal-amal kebaikan yang lain.

3. Melestarikan Kemabruran Ibadah Haji

Mengingat "Haji Mabrur", bukanlah suatu prediket yang mudah diraih oleh orang-orang Islam yang menunaikan ibadah haji, serta tidak berhenti hanya sampai usainya ibadah haji, maka mereka harus mempertahankan dan melestarikan prediket "Haji Mabrur" yang telah diraihnya, dengan berusaha semaksimal mungkin melakukan hal-hal sebagai berikut :

a. Meningkatkan kualitas iman dengan meyakini dan menghayati 6 rukun iman

Aqidah adalah ajaran Islam yang berkaitan dengan masalah keimanan, keyakinan atau kepercayaan terhadap kebenaran segala informasi yang disampaikan oleh Rasulullah SAW baik yang termaktub di dalam Al-Qur'an maupun al-Sunnah. Seperti kepercayaan tentang keesaan Allah SWT, terutusnya para nabi, adanya hari kebangkitan dan pembalasan, kepercayaan tentang kewajiban melaksanakan shalat lima waktu, membayar zakat, melaksanakan puasa, dan menunaikan ibadah haji. Karena merupakan aspek paling pokok dari agama, aqidah harus selalu dibina dan ditingkatkan kualitasnya.

Tujuan pokok peningkatan kualitas aqidah adalah untuk menanamkan keimanan, keyakinan dan kepercayaan terhadap rukun-rukun iman dalam diri manusia. Jika dirinci, tujuan pembinaan aqidah adalah sebagai berikut :


1. Menanamkan keimanan yang mantap dan kokoh dalam qalbu setiap manusia, khususnya kaum mukminin dan mukminah.
2. Membersihkan (memurnikan) iman dari kemusyrikan dan kekufuran.
3. Memelihara iman hingga akhir hayat

b. Melaksanakan seluruh rukun Islam dengan sempurna

Untuk mempertahankan predikat "Haji Mabrur", sekaligus memperkuat iman yang telah tertanam di dalam qalbu, maka umat Islam harus melaksanakan seluruh rukun Islam dengan sempurna. Rukun Islam yang harus dilaksanakan oleh setiap orang yang memeluk agama Islam, baik laki-laki maupun perempuan ada lima (5), yaitu: membaca dua kalimat syahadat, mendirikan shalat, membayar zakat, melaksanakan puasa di bulan Ramadhan, dan menunaikan haji.

c. Mengaktualisasikan Dua Kalimat Syahadat dalam sikap dan perbuatan
Pada dasarnya, pembacaan dua kalimat syahadat merupakan suatu ekspresi dari keimanan yang bersemayam di dalam qalbu (hati) orang yang telah beriman, bukan sekedar lips service, atau ungkapan di dalam lidah yang tidak didasarkan keyakinan di dalam qalbu. Oleh karena itu, seseorang yang mengucapkan dua kalimat syahadat di bibir saja sementara qalbu-nya tidak meyakini bahwa tiada tuhan selain Allah dan bahwa Nabi Muhammad utusan Allah, maka pada hakekatnya di hadapan Allah SWT ia belum dinilai sebagai orang yang beriman sehingga kelak di akhirat ditempatkan di neraka, walaupun di hadapan manusia ia telah dinilai sebagai orang yang memeluk agama Islam. Sebaliknya, seseorang yang tidak mengucapkan dua kalimat syahadat, tetapi qalbu-nya telah meyakini bahwa tiada tuhan selain Allah dan bahwa Nabi Muhammad utusan Allah, maka pada hakekatnya di hadapan Allah SWT ia telah dinilai sebagai orang yang beriman sehingga kelak di akhirat ditempatkan di surga, walaupun di hadapan manusia ia dinilai sebagai orang yang kafir.

d. Melaksanakan Shalat Dengan Khusyu'

Untuk mempertahankan prediket "Haji Mabrur", umat Islam yang sudah menunaikan ibadah haji harus berusaha melaksanakan shalat dengan khusyu', yaitu shalat yang bukan sekedar bersifat formalitas dan berupa gerakan-gerakan fisik, tetapi shalat yang dilakukan dengan penuh penghayatan oleh qalbu sebagaimana diperintahkan oleh Allah SWT dan Rasulullah SAW. Sebab jika kualitas ibadah shalat kita masih seperti itu dan tidak ada kemauan yang sungguh-sungguh untuk meningkatkannya, maka bukan pahala dan kebahagiaan yang akan kita dapat, tetapi ancaman kecelakaan dan siksa neraka-lah yang akan menjerat. Sebagaimana telah difirmankan Allah SWT dalam surat al-Ma'un.
فَوَيْلٌ لِلْمُصَلِّينْ اَلَّذِيْنَ هُمْ عَنْ صَلاَتِهِمْ سَاهُونْ. اَلَّذِيْنَ هُمْ يُرَاءُوْنَ وَيَمْنَعُوْنَ اَلْمَاعُونْ
"Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat; (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya dan orang-orang yang berbuat riya' serta enggan (menolong dengan) barang yang berguna".

Oleh sebab itu, maka kita harus berusaha dengan sungguh-sungguh untuk meningkatkan kualitas ibadah shalat kita sehingga mencapai derajat shalat yang khusyu'.

e. Membayar Zakat dengan Ikhlas sesuai Ketentuan Ajaran Islam

Zakat adalah rukun Islam ketiga yang berbentuk ibadah maliyah ijtima'iyyah (berdimensi ekonomi dan sosial). Di dalam al-Qur'an perintah untuk membayar zakat disebutkan sebanyak 82 kali dan sebagian besar disebutkan beriringan dengan perintah mendirikan shalat. Hal ini mengandung makna yang dalam sekali. Karena perintah shalat dimaksudkan untuk meneguhkan keislaman seseorang sebagai hamba Allah pada dimensi spiritual yang bersifat personal, sedang perintah zakat dimaksudkan untuk mengaktuali-sasikan keislaman seseorang sebagai khalifah Allah pada dimensi etis dan moral yang terkait dengan realitas sosial.

Para ulama telah konsensus (ijma') bahwa zakat adalah suatu kewajiban yang dibebankan Allah SWT atas orang-orang Islam yang memiliki harta benda melebihi kebutuhan primernya. Oleh karena itu, jika seseorang telah berkewajiban membayar zakat tetapi tidak mau membayarnya karena mengingkari atas wajibnya zakat, maka ia telah murtad dan pemerintah harus memberikan sanksi hukum kepadanya.

f. . Melaksanakan Ibadah Puasa

Setiap orang Islam yang telah mencapai usia dewasa (aqil baligh) dan mampu berpuasa, wajib melaksanakan puasa selama bulan Ramadlan. Jika mereka sedang sakit atau berada dalam perjalanan maka diperbolehkan tidak berpuasa, tetapi sesudah bulan Ramadlan wajib mengqadla' sejumlah hari yang ditinggalkan. Demikian juga bagi wanita yang sedang hamil atau menyusui bayi yang merasa payah jika berpuasa. Adapun orang tua renta yang sudah tidak mampu berpuasa, atau orang yang sakit parah yang menurut perkiraan dokter tidak mungkin sembuh, maka tidak wajib berpuasa dan juga tidak wajib mengqadla', tetapi cukup membayar fidyah, setiap hari memberi makan satu orang fakir miskin.

g. Memperbaiki Akhlak dan Menjauhi Larangan Allah

Di samping mengamalkan Rukun Iman dan Rukun Islam di atas, maka sesudah selesai melakukan ibadah haji para jamaah juga harus memperbaiki prilaku dan akhlaknya, baik akhlak kepada Allah, kepada sesama manusia, maupun akhlak kepada sesama makhluk hidup. Hal itu bisa dilakukan di antaranya dengan:

1. Memperbanyak dzikir dan do'a kepada Allah SWT. Sebagaimana telah difirmankan dalam surat al-Baqarah ayat 200 :
فَإِذَا قَضَيْتُمْ مَنَاسِكَكُمْ فَاذْكُرُوْا اللهَ كَذِكْرِكُمْ آبَائَكُمْ أ َوْ أَشَدَّ ذِكْرًا
"Apabila kamu telah menyelesaikan ibadah hajimu, maka berdzikirlah dengan menyebut nama Allah sebagaimana kamu meyebut-nyebut (membangga-banggakan) nenek moyangmu, atau bahkan berdzikir lebih banyak dari itu".

2. Memperdalam ajaran-ajaran agama Islam serta meningkatkan kualitas ibadah kepada Allah dan ibadah sosial kepada sesama umat manusia. Seperti rajin menghadiri majelis taklim, rajin shalat sunnah di samping shalat fardlu, puasa sunnah di samping puasa fardlu, menyantuni anak-anak yatim, fakir miskin, orang-orang terlantar, orang-orang yang tertimpa bencana dan sebagainya.

3. Menjauhi hal-hal yang dilarang oleh Allah SWT. Seperti judi, zina, mabok, mencuri, menipu, korupsi dan sebagainya.

h. Mengikis habis sifat atau prilaku yang tidak baik, seperti iri hati, dendam, pesimis, su'udz dzan,
egois, konsumtif dan berfoya-foya dalam membelanjakan dan mempergunakan harta sehingga mubaddzir, pelit (bakhil), takabbur (sombong), menghina dan memandang rendah kepada orang lain, dan mencari-cari kesalahan orang lain. "Pembersihan diri" ini dibarengi dengan penanaman sifat-sifat yang terpuji seperti murah hati, pemaaf, optimis, husnud dzan, syukur, sabar shidiq (jujur dan benar baik dalam pikiran, ucapan maupun perbuatan), amanah (dapat dipercaya, tidak menipu, tidak berkhianat, tidak menyalahgunaan jabatan serta selalu berusaha mengemban tugas dengan sebaik-baiknya dan sejujur-jujurnya. Demikian pula sifat al-shidqu (jujur), dan al-amanah merupakan sifat yang akan memperkokoh dan menjamin integritas kepribadian seseorang, baik sebagai makhluk individu maupun makhluk sosial, serta sifat ta'awun (Saling tolong menolong) dalam kebaikan dan takwa, bukan dalam dosa dan pelanggaran.

M. Sukron Farda

Penulis adalah Pembimbing Ibadah Maktour, Dewan Pengasuh Pondok Pesantren Baitul Hikmah Depok

Sumber : detik.com

in Hukum

Share this post